Krisis kesehatan mental adalah suatu persoalan yang menghantui generasi Z. Nyatanya, generasi yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 ini merupakan calon pemimpin Indonesia Emas 2045.
Data di Indonesia menunjukkan sebanyak 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengidap gangguan kesehatan mental. Di sebutkan pula, angka kesakitan dan kematian di masa remaja akhir-akhir ini juga meningkat sampai 200 persen. Ketidak mampuan dalam mengendalikan perilaku dan emosi menjadi faktor meroketnya angka tersebut.
Belakangan ini juga banyak terjadi tragedi bunuh diri yang datang dari kalangan Gen Z. Contoh, seorang mahasiswa di temukan tewas dalam kondisi gantung diri di tangga kos daerah Depok, Sleman pada Rabu (6/12/2023). Di tempat berbeda tetapi masih dalam rentang waktu yang berdekatan. Korban berinisial M (21) di ketemukan tewas gantung diri di wilayah Jakarta Timur, Kamis (30/11/2023).
Menanggapi hal tersebut, spesialis kedokteran jiwa dr Lahargo Kembaren, SpKJ membetulkan adanya tren peningkatan kasus masalah kesehatan mental ataupun gangguan kejiwaan pada kalangan Gen Z.
“Ada tren peningkatan kasus masalah kesehatan mental ataupun gangguan kejiwaan pada usia remaja, atau dewasa muda, atau di kenal dengan Gen Z. Setuju sekali, di praktik klinis yang saya lakukan juga itu cukup meningkat,” tuturnya kepada Fox26NewsHenry, Selasa (12/12/2023).
Dalam praktik klinisnya, ia mencatat bahwa gangguan kesehatan mental yang paling banyak di temui pada Gen Z adalah gangguan ansietas atau kecemasan. Depresi dengan menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri. Kapasitas mental dan level stressor menjadi penyebab utama dari kasus-kasus tersebut.
“Kejadian yang paling banyak itu gangguan ansietas atau kecemasan, depresi yang di sertai dengan self-harm, dan juga suicide atau bunuh diri. Faktor penyebabnya kalau untuk gangguan kejiwaan itu ada dua. Pertama, karena kapasitas mental yang kurang baik. Kedua, karena tingkat stressor yang cukup besar,” katanya.
Faktor Krisis Kesehatan Mental
Ia menjelaskan, kapasitas mental di pengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk genetik, pola asuh orang tua, pendidikan, regulasi emosi, keterampilan sosial, dan kemampuan hidup. Kurangnya kapasitas mental membuat Gen Z rentan terhadap gangguan kesehatan jiwa.
Adapun stressor, adalah beraneka masalah pada psikososial seseorang, yakni hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mentalnya.
“Stressor ini merupakan rangkaian masalah psiko sosial yang di deritanya. Entah itu di sekolah dengan beratnya pelajaran, overload kegiatan sehari-hari, masalah pergaulan, relationship, belum lagi ada yang toxic misalnya,” ucapnya.
dr Lahargo pun menyoroti dampak negatif perkembangan teknologi informasi terhadap generasi yang tumbuh dengan reformasi digital ini. Permasalahan dari perkembangan teknologi, seperti cyber bullying, kecanduan media sosial dan game, serta judi online juga rentan mengganggu kesehatan jiwa Gen Z.
Media sosiala rentan menyebabkan Gen Z untuk membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami penurunan kepercayaan diri hingga mentalnya terganggu.
“Platform media sosial juga memudahkan Gen Z ini buat melihat kehidupan orang lain dan membuat mereka jadi membandingkan dirinya dengan orang lain. Sehingga membuat diri merasa tak sepadan, tak selevel yang berujung pada rasa insecure secara berulang dan berlebihan,” tuturnya